Oleh: Ellen Kristi
(Penulis buku Cinta Yang Berpikir, pendiri Komunitas Charlotte Mason Indonesia, pengelola media informasi pendidikan karakter cmindonesia.com)
Apakah menambah jam belajar di sekolah akan meluhurkan watak dan budi pekerti siswa? Ketika membaca Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah, nalar itulah yang terbaca oleh saya.
Kebijakan yang ditetapkan oleh Mendikbud Muhadjir Effendy pada tanggal 12 Juni 2017 ini mengatur di pasal 2 agar Hari Sekolah dilaksanakan selama 8 (delapan) jam dalam sehari, lima hari dalam seminggu, atau sama dengan 40 (empat puluh) jam seminggu.
Definisi Hari Sekolah yang dipakai dalam kebijakan ini terus terang kabur. Pasal 2 memberi kesan kuat bahwa yang dimaksud adalah full day school, anak belajar selama delapan jam di sekolah, dengan istirahat hanya 30 menit. Pasal 2 ayat (4) meminta, jika jam istirahat ditambah, berarti waktu pulang pun harus diundur.
Berselang sepasal, di Pasal 3, pengertian menjadi berbeda ketika disebut bahwa Hari Sekolah adalah waktu bagi guru untuk menunaikan beban kerjanya. Beban kerja itu mencakup merencanakan pembelajaran atau pembimbingan, melaksanakan lalu menilai hasilnya, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan lainnya.
Kekaburan ini tidak menjadi makin jelas ketika dalam berbagai kesempatan Mendikbud Muhadjir menyangkal bahwa sekolah lima hari ini adalah full day school. Menurutnya, kebijakan ini bukan berarti anak atau guru harus berada di sekolah dari pagi sampai sore. Dalam prinsip logika, seharusnya definisi dirumuskan secara positif, bukan negatif. Kalau lima hari sekolah delapan jam sehari ini bukan full day school, lalu maksudnya apa?
Pertanyaan Mendasar
Apa pun maksudnya, kalau menilik bagian “Menimbang” poin (a) dan (b) dari Permendikbud tersebut, jelas tujuannya adalah soal penguatan karakter anak Indonesia, “restorasi pendidikan karakter di sekolah”, khususnya dalam menghadapi tantangan era globalisasi.
Sebagai peneliti dan praktisi filosofi pendidikan Charlotte Mason, seorang figur pendidik Inggris abad ke-19 yang sangat menekankan peluhuran karakter sebagai tujuan pendidikan, saya sangat senang pemerintah serius mencita-citakan penguatan karakter.
Pertanyaan mendasarnya tentu saja, benarkah meminta anak menjalani hari sekolah 8 jam sehari dan 5 hari seminggu bisa menguatkan karakternya? Dan ini menuntun pada pertanyaan yang lebih mendasar lagi: karakter itu apa dan penguatan karakter itu maksudnya bagaimana?
Tak perlulah disembunyikan lagi bahwa ada banyak masalah yang menghantui sistem persekolahan kita dari Sabang sampai Merauke. Kualitas guru yang tidak merata. Metode belajar-mengajar yang tidak ramah anak dan semata berorientasi pada ujian (teaching-to-the-test). Perundungan (bullying) dan kekerasan baik antar siswa, guru pada siswa, atau siswa pada guru. Fasilitas pendidikan belum memadai, mulai dari perpustakaan, kantin, WC, bengkel, atau laboratorium.
Dengan kondisi masih banyaknya sekolah yang serba minim kuantitas dan kualitas guru, minim fasilitas, bahkan berpotensi tidak aman itu, tepatkah menuntut para siswa menghabiskan waktu begitu lama di sana? Akankah watak mereka berubah makin mulia karenanya?
Tiga Pilar
Dalam filosofi Charlotte Mason, untuk mewujudkan watak yang luhur ada tiga pilar yang harus ditegakkan. Pertama, atmosfer – nilai-nilai yang dipancarkan lewat teladan sehari-hari. David Hicks dalam bukunya Norms and Nobility (1999) menekankan, aspek terpenting dari reformasi pendidikan adalah peningkatan kualitas kepribadian dan intelektual para guru.
Finlandia mencapai statusnya saat ini sebagai salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik sedunia menjadi contoh soal perhatian pada guru. Ada seleksi ketat untuk menjadi guru, lalu setelahnya para guru sangat diperhatikan kesejahteraan dan pengembangan dirinya. Guru yang keren akan menginspirasi siswa-siswanya untuk menjadi keren juga.
Selain guru, yang perlu pemerintah perhatikan adalah orangtua dan keluarga. Porsi terbesar waktu anak, terutama di usia emasnya, dihabiskan bersama ayah-ibu dan keluarga. Secara alamiah dan secara kewajiban, keluarga memang sepatutnya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas tumbuh kembang anak. Sekolah hanyalah asisten. Merampas peran keluarga dan membebankan pendidikan anak seharian penuh pada sekolah adalah pelanggaran hukum kodrat.
Sesuai prinsip atmosfer ini, alih-alih menghabiskan dana begitu banyak untuk memaksakan semua anak bisa bersekolah 8 jam sehari, 5 hari seminggu, Pemerintah sepatutnya mengalokasikan anggaran lebih besar untuk memperbaiki sistem perekrutan dan pembinaan guru serta mendukung keluarga-keluarga agar lebih dekat dan suportif terhadap tumbuh kembang anak-anak mereka.
Pilar kedua untuk watak luhur adalah disiplin, yakni dilatihkannya kebiasaan-kebiasaan baik secara konsisten dan bertujuan. Di sini, kurikulum dan metode belajar-mengajar di sekolah menurut saya harus direvolusi, jangan lagi sekadar mengajar supaya siswa bisa dapat nilai tinggi saat ujian. Membuat anak cinta membaca, suka riset, kritis dan reflektif, inovatif, punya minat luas pada seni dan budaya, peduli pada problem sosial dan terlatih untuk ikut mengupayakan solusinya, itulah indikator watak luhur yang sesungguhnya – bukan nilai 100 untuk pelajaran PPKN!
Yang terakhir, agar watak anak menjadi luhur, dia mesti dipasok dengan ide-ide positif dan inspiratif. Perpustakaan sekolah perlu dipasok dengan buku-buku bermutu. Buku-buku teks yang garing, apalagi mengajarkan intoleransi dan kekerasan, harus disortir dan disingkirkan. Budaya membaca buku-buku bermutu digalakkan. Anak-anak juga mesti sering diajak berkeliling ke berbagai tempat, lalu berjumpa dan berdialog dengan orang-orang yang bisa mencerahkan benak mereka.
Terkait dengan pertimbangan Permendikbud tentang kesiapan menghadapi tantangan globalisasi, penting diupayakan pasokan ide yang kaya bagi anak-anak kita. Di satu sisi mereka punya wawasan global, di sisi lain mereka juga dipasok ide agar tetap berakar kuat pada tradisi plural masyarakat Indonesia. Di sini krusial sekali menyusun kurikulum pendidikan sejarah yang menggugah sekaligus kritis. Pemerintah perlu mensponsori penulisan dan penerbitan buku-buku sejarah bermutu bagi para pembaca anak. Tanpa pendidikan sejarah dan budaya yang baik, mudah sekali anak Indonesia hanyut pada identitas-identitas asing yang justru memusuhi kearifan lokal mereka.
Bukan untuk Semua Sekolah
Menambah jam belajar di sekolah hanyalah teknik saja, bukan esensi dari pendidikan karakter. Tanpa adanya atmosfer, disiplin, dan pasokan ide inspiratif selama bersekolah, watak siswa tetap tak terjamin akan menjadi lebih baik.
Menurut National Center on Time and Learning, memperpanjang jam sekolah memang berhasil meningkatkan indeks akademik siswa-siswa di sekolah kategori “sangat miskin” (high poverty schools) sampai dengan 25%. Di Amerika, kebijakan memperpanjang jam sekolah ini khususnya menguntungkan anak-anak kulit berwarna yang miskin karena memberi mereka situasi yang lebih kondusif untuk belajar.
Hal ini sesuai dengan temuan Barnett (1995) dan Universitas Durham (2007) bahwa pendidikan sekolah institusional tidak sama menguntungkan atau merugikan semua siswa, namun hanya relatif menguntungkan atau merugikan dibandingkan dengan kualitas perawatan di rumah. Bagi anak-anak dari lingkungan miskin yang situasi keluarganya diisi pengabaian dan kekerasan, berada di sekolah yang aman dan terawasi akan sangat menguntungkan mereka.
Namun, bahkan para pendidik di sekolah-sekolah yang sukses menerapkan jam sekolah lebih panjang (ELT, extended learning time) pun mengamarkan bahwa kebijakan ini tidak bisa dipaksakan ke semua sekolah. Ada risiko-risiko yang harus diantisipasi lebih dulu, seperti meningkatnya stres siswa dan guru, juga tingginya anggaran yang dibutuhkan sekolah untuk ELT.
Jika dicermati, negara-negara penyandang status terbaik soal pendidikan seperti Singapura dan Finlandia malah tidak menganut konsep ELT ini. Mereka menyusun grand design pendidikan yang fokusnya di optimalisasi hari sekolah tradisional. Bukan jamnya yang diperpanjang, tapi mutu proses belajarnya yang terus ditingkatkan.
Yang sangat harus diantisipasi adalah stamina para siswa sendiri. Banyak anak sekolah, terutama di kota besar, yang jadwal hariannya sudah luar biasa sibuk. Hasilnya, anak-anak ini kelelahan, terlalu fokus pada akademis, dan terputus dari kehidupan sosial yang sehat. Mengutip Vicki Abeles, penulis buku Beyond Measure: Rescuing an Overscheduled, Overtested, and Underestimated Generation, yang mereka butuhkan adalah “hari sekolah yang lebih manusiawi, lebih seimbang, lebih menginspirasi, dan lebih efektif – bukan lebih panjang.” #Repost nujateng.com