Rumusan Imam al-Ghazali tentang Kriteria Guru

Artikel

Oleh: Muhamad Zainal Mawahib

(Staf Pengajar di Pondok Pesantren Taqwal Ilah Semarang)

Hingga sekarang ini, masalah pendidikan selalu menghadapi tantangan dan problematika yang tidak kunjung usai. Ia senantiasa hadir menjadi permasalahan yang aktual dengan berbagai perkembangan dan perubahan zaman. Karena pendidikan ini menjadi kebutuhan inheren bagi kehidupan manusia.

Manusia, sebagaimana dalam riwayat hadits Nabi Muhammad Saw, dilahirkan dalam keadaan fitrah, suci dan bersih. Ibaratnya, bayi ini seperti kertas putih yang belum terkena noda sedikitpun. Bahkan kertas putih ini masih berupa lembaran yang rapi dan belum dibentuk sedemikian rupa sebagaimana dalam origami.

Meskipun demikian, Nabi telah mengisyaratkan bahwa adanya perubahan, tergantung bagaimana orang tua memberikan pendidikan kepadanya. Baik pendidikan tersebut diberikan oleh orang tua sendiri, maupun pendidikan yang diberikan oleh seorang guru sebagai penerima amanah dari orang tua. Dalam konteks ini, antara orang tua dan guru memiliki peran yang sama, yakni sama-sama berperan untuk memberikan pendidikan dan pengajaran guna membentuk seorang anak yang masih suci dan bersih.

Sebagai upaya membentuk generasi yang memiliki kepribadian baik dan daya intelektual, maka hadirnya seorang guru –baik orang tua yang menjadi guru, maupun orang lain yang menjadi guru– yang membentuk generasi tersebut menjadi syarat utama. Mengingat peran penting yang disandang oleh guru ini, maka para ulama merumuskan kriteria seorang guru, baik dari segi sifat, sikap dan kepribadian serta wataknya.

Secara umum, menurut Imam al-Ghazali, paling tidak seorang guru harus memiliki beberapa sifat, yaitu zuhud, ikhlas, suka memaafkan, memahami tabiat murid, berkepribadian yang bersih, bersikap sebagaimana bapak terhadap anaknya, dan menguasai ilmu pengetahuan yang menjadi bidangnya, yang diberikan kepada murid.

Rumusan sederhana di atas, kemudian dirinci secara detail oleh Imam al-Ghazali sebagaimana tertulis dalam magnum opusnya, Ihya’ Ulumuddin, sebagai berikut: pertama, guru memiliki tugas untuk memberikan pengajaran (dalam hal intelektual) dan pendidikan (dalam hal kepribadian dan karakter). Karena hal itu adalah tugas utama seorang guru, maka sifat pokok yang dimilikinya adalah lemah lembut dan kasih sayang. Interaksi antara guru degan murid demikian akan melahirkan sikap percaya diri dan rasa tentram terhadap gurunya. Relasi ini akan sangat membantu murid menyerap pengetahuan sebanyak-banyaknya.

Kedua, menuntut upah dalam mengajar adalah sesuatu yang perlu ditinjau kembali. Dalam hal ini Imam al-Ghazali berkata: “Barang siapa mencari harta dengan ilmu pengetahuan maka ia seperti orang yang mengusap alat penggosok dengan mukanya sendiri untuk membersihkannya, maka terjadilah penjungkirbalikan, majikan menjadi pelayan dan pelayan menjadi majikan”.

Pada poin kedua di atas, dalam konteks kekinian memang menjadi persoalan yang menimbulkan kontroversi yang tiada ujungnya. Mempertimbangkan bahwa guru juga manusia biasa –yang secara ekonomi– yang harus mencari nafkah untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarga yang menjadi tanggungannya, adalah menjadi aspek yang harus menjadi pertimbangan dalam konteks memikirkan kesejahteraan seorang guru.

Ketiga,  guru menjadi pembimbing yang jujur dan dapat dipercaya bagi muridnya. Selain itu juga, guru sayogjanya senantiasa menanamkan keyakinan pada hati muridnya bahwa menuntut ilmu hanyalah semata untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik, bukan kesombongan, mencari harta dan kedudukan, pamer ilmu, bersilat lidah, bertengkar dan berdebat.

Keempat, guru tidak boleh menyebarluaskan kekurangan dan kesalahan muridnya, karea akan merangsang timbulnya sifat protes dalam dirinya. Sebab hal itu dapat membuat murid merasa dihantui rasa bersalah yang membuat mereka protes sebagai cara mempertahankan dirinya. Pengarahan, teguran dan bimbingan dari seorang guru disampaikan dengan penuh kasih sayang, tanpa disertai emosi.

Kelima, kehadiran guru tampil sebagai teladan atau panutan yang baik di hadapan muridnya. Oleh karenanya, guru harus memiliki keluruhan budi pekerti dan rasa toleransi. Seorang guru hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang bukan keahliannnya atau spesialisasinya. Kebiasaan seorang guru yang mencela guru ilmu fiqih dan guru ilmu fiqih mencela guru hadis dan tafsir, adalah guru yang tidak baik.

Keenam, guru perlu memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual dan bagaimana cara memperlakukannya sesuai dengan tingkat kemampuan yang dimiliki murid. , Al-Ghazali menasehatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan batas kemampuan pemahaman muridnya, dan ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya, karena hal itu dapat menimbulkan rasa antipati atau merusak akal muridnya

Ketujuh, Di samping memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, guru juga perlu memahami bakat, tabiat dan kejiwaan murid, sesuai dengan tingkat usia dan kemampuannya. Kepada murid yang kemampuannya kurang, hendaknya seorang guru jangan mengajarkan hal-hal yang rumit dan bersifat kontraversial, sekalipun guru itu menguasainya. Sebab hal itu dapat menjadikan murid merasa kebingungan.

Kedelapan, guru memiliki peran ganda, yakni sebagai orang yang ‘alim dan sekaligus ‘amil.Guru tidak hanya memberikan materi melalui kegiatan belajar-mengajar, tetapi juga memberikan materi melalui sebuah tindakan nyata. Dengan demikian, guru harus berpegang teguh kepada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikian rupa.

Dalam hubungan ini, Imam al-Ghazali mengingatkan agar seorang guru jangan sekali-kali melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip yang dikemukakannya. Apabila hal itu dilakukan, maka akan menyebabkan guru tersbeut kehilangan wibawanya. Ia akan menjadi sasaran hinaan yang pada gilirannya akan menyebabkan ia kehilangan kemampuan dalam mengatur murid-muridnya. Ia tidak akan mampu lagi mengarahkan atau memberi petunjuk kepada muridnya.

Dari kriteria guru yang dirumuskan oleh Imam al-Ghazali di atas, terlihat masih relevan di zaman sekarang ini. Sayogjanya, seorang guru dalam mendidik dan memberikan pengajaran dilakukan secara sistematik –tidak mengajarkan bagian berikutnya sebelum bagian terdahulu dikuasai, memahami tingkat perbedaan usia, kejiwaan dan kemampuan intelektual siswa, bersikap simpatik, tidak menggunakan cara-cara kekerasan, serta menjadi pribadi panutan dan teladan.

Menarik untuk direnungkan bersama, khususnya bagi orang tua dan guru, pesan dari Imam al-Ghazali, yang berkata: “Seorang guru mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya dan jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan kata hati, sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala, padahal yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak”. #Repost nujateng.com

Bagikan Tulisan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *