KH. A. Syahid: Cahaya Permata Pada Mahkota Gerakan Islam

Kajian

Oleh: Ubaidillah Achmad (Penulis Buku Suluk Kiai Cebolek dan Islam Geger Kendeng, khadim PP. Bait As Syuffah An Nahdliyah)

Dalam rangka menyambut haul guruku, yang menjadi sandaran (isnad) bacaan kumandang kalimah tauhid(ku), maka perlu kiranya menyampaikan catatan penting tentang apa yang saya saksikan dari model pendampingan beliau di tengah para santri dan masyrakat. Bagi saya, guruku, Mbah Syahid, adalah di antara cahaya sufi itu sendiri, yang memiliki kekhasan dan keunikan di tengah gerakan sosial dan kearifan lokal.

Alasan penulis mengangkat tema ini, sebagai upaya mencatat khazanah Islam Nusantara, yang hadir di tengah umat Islam Indonesia, yaitu sikap keberagamaan Mbah Syahid yang dijalankan penuh ketekunan dan ketulusan, namun tidak meninggalkan semangat nasionalisme kebangsaan.

Hal ini terbaca dari cara Mbah Syahid yang juga menerima para tamu dari berbagai tokoh nasional. Selama aktif di NU, Mbah Syahid juga berjuang mengangkat harkat dan martabat NKRI. Arti penting tema ini, untuk menegaskan, bahwa makna gerakan sufi bukanlah gerakan yang tertutup (eksklusif) dan tidak membuka diri di tengah gerakan sosial. Mbah Syahid, adalah contoh cahaya sufi yang mrmancarkan pantulan cahaya kesufian di tengah masyarakat sosial. Mbah Syahid bergaul dengan masyarakat, hidup bersama masyarakat dan menjawab persoalan masyarakat.

Sedangkan, adanya anggapan ekskkusif terhadap kaum sufi, karena anggapan itu tidak memahami perilaku sufistik. Mereka yang salah paham terhadap kaum sufi, baru melihat pada apa yang mereka lihat dari sikap para sufi dan pengikutnya yang lebih berhati hati terhadap usrusan dunia.

Kehatia-hatian kaum sufi di atas disebabkan ingin menjaga tradisi kenabian dan menjaga marwah kesufian, yang di antaranya: yang pertama, tidak ingin menjadi tangan panjang relasi kuasa yang tidak seimbang. Kedua, tidak mau terlibat dalam intrik intrik politik atau persekongkolan busuk, yang sering terjadi antara kaum penguasa, kaum kapitalis, dan kaum borjuis.

Cahaya Permata Pada Mahkota Gerakan Islam

Dalam sub ini, penulis ingin memulai dengan sebuah pertanyaan: mengapa seseorang perlu memahami prinsip keutamaan yang diajarkan dalam ilmu tasawuf? Diperlukan belajar tasawuf, bertujuan untuk membentuk keseimbangan jiwa. Keseimbangan jiwa akan terganggu jika terjadi benturan fisik dan hasrat dengan tampilan dunia yang penuh dengan hal hal yang menyenangkan syahwat dan angan angan (perumpamaan) hidup sesaat.

Hasil dari benturan ini, berupa sikap negatif, seperti hedonisme, konsumerisme, pragmatisme. ketiga hal ini benar benar telah lahir dari rahim materialisme yang sekarang ini menghiasi dunia modern. Efek samping dari sikap negatif ini, di antaranya banyak terjadi peristiwa nestapa manusia modern dan tercerai-berainya ilmu pengetahuan dari kesatuan energi positif yang melahirkan nilai keutamaan hidup dan kebahagiaan hidup.

Kebanyakan manusia modern mengejar satu bentuk kepuasan ke kepuasan berikutnya, dari satu citra ke citra berikutnya. Hal yang sama, juga terjadi pada konteks wacana politik, ekonomi, sosial, budaya, dan media dalam masyarakat global. Konteks wacana ini, telah kehilangan perannya sebagai pengemban nilai-nilai moral. Banyak para politisi, pelaku pasar, fenomena sosial, atas nama kebudayaan, dan berita berita hoax, yang bersikap merusak nilai keutamaan hidup dan merusak moral.

Tentu saja, fenomena modernitas sebagai instrumen kaum materialisme, telah memberikan konstribusi terjadinya nestapa manusia modern. Fenomena ini menuntut para pencerah dari agamawan untuk melakukan pencerahan spiritual menciptakan harmoni kehidupan yang lestari, antara sesama umat manusia dan dengan semua unsur kesemestaan.

Kehadiran Mbah Syahid pada zamannya sangat dibutuhkan masyarakat. Hal ini terlihat dari jumlah minimal puluhan orang setiap hari, yang sowan —-mohon nasihat dan pengobatan jiwa— kepada Mbah Syahid. Pada hari tertentu, bahkan mencapai ratusan yang sowan beliau dan semuanya telah beliau temui dengan ramah, jamuan yang memuaskan, dan yang sangat inspiratif, berupa jamuan yang selalu terdengar dari kalam beliau yang terpuji, yaitu beliau selalu bersyukur kepada Allah Jalla Jalaluhu.

Dalam hal ini, sufisme Mbah Syahid tidak dapat diabaikan, beliau adalah ibarat permata di atas mahkota gerakan Islam dan kearifan lokal (local wisdom). Mbah Syahid, yang saya saksikan selama saya belajar dalam pendampingan beliau, telah menyajikan keutamaan nilai-nilai kasih sayang, perdamaian, dan kesahajaan. Ada cara unik Mbah Syahid, ketika beliau hendak mengendalikan mesin hasrat para santri di medan modernitas ini, yaitu pesan dan penekanan beliau kepada para santri agar tidak menjadi santri buqi, yang bermakna jika ada makanan “berkat” telah melupakan kesadaran diri sebagai khalifah Allah.

Dalam pandangan Mbah Syahid, manusia telah dimuliakan Allah, maka tidak sewajarnya jika hanya berhasrat pada kenikmatan dunia atau makanan hasrat yang sesaat dan bersifat sementara.

Dalam pandangan saya, Mbah Syahid, mampu meyembuhkan kondisi kesakitan individu dan masyarakat lingkungan pada zamnnya, yang berstadium tinggi, berupa penyakit peningkatan ketidakpercayaan pada institusi agama formal (a growing distrust of organized religion). Cahaya Islam yang dinyalakan Mbah Syahid, adalah terbuka dan menerangi spiritualitas Islam, makna kemanusiaan, hidup harmoni, dan etika global.

Nilai-nilai sufisme Mbah Syahid berlangsung hingga sekarang yang dilestarikan oleh institusi tarekat yang diasuh beliau. Kekuatan sosial tarekat Mbah Syahid berhasil membuktikan eksistensi dalam panggung sejarah melalui kiprah religius, sosial-politik, dan juga ekonomi. Sampai sekarang, tidak sedikit yang dengan sengaja mengikuti tarekat yang berlangsung di pesantren Mbah Syahid. Selain itu, tarekat dan pesantren masih menjadi sarana efektif dalam menyebarkan gagasan luhur Mbah Syahid kepada publik.

Secara strategis dari sisi gerakan sosial Mbah Syahid, telah berhasil mengisi sejarah gerakan sosial dan penguatan terhadap kearifan lokal. Mbah Syahid, telah mampu menjawab kesalahpahaman terhadap gerakan tarekat. Banyak yang beranggapan, geakan tarekat adalah gerakan anti syariah, namun gerakan trekat Mbah Syahid sangat berpegang pada ajaran Syariah. Sebagai contoh, dalam menerapkan model bacaan kalimah tauhid pun, tidak luput dari perhatian beliau. Penulis teringat betapa tidak mudah membaca kalimat tauhid sesuai dengan prinsip syariah yang beliau ajarkan, yang diantaranya harus benar sesuai dengan makharijul huruf dan ilmu tajwid.

Sebagai santri beliau, penulis tidak menemukan kritik dari A.J. Arbery, yang sampai mencela tarekat di Mesir dan menyebut shaykh-shaykhnya sebagai kekuatan yang merusak tatanan gerakan sosial dan kemanusiaan. Kehadiran Mbah Syahid sekaligus menolak pandangan antropolog “kolonialis”, bernama Clifford Geertz, yang mengungkapkan pandangan serupa bahwa tarekat hanyalah perkumpulan mistik yang cenderung rahasia yang diliputi oleh ilmu kekebalan, uji kekuatan, dan puasa berkepanjangan. Kehadiran Mbah Syahid, juga mampu membalik teori Geertz yang berpandangan, bahwa keberadaan tasawuf telah merosot sejak bangkitnya modernisme Islam.

Jadi, kehadiran Mbah Syahid telah menguatkan hasil penelitian John O. Voll dan Martin van Bruinessen, yang menganggap tarekat semakin kuat di sebagian besar dunia Islam dan komunitas muslim di Barat dan Asia. Hal ini bisa dibaca sejak memasuki akhir abad ke-20. Tidak hanya berkembang subur di pedesaan, namun juga menyebar di lingkungan masyarakat kota, birokrat dan kalangan lembaga pendidikan tinggi.

Bagikan Tulisan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *