MODEL PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER KEAGAMAAN ISLAM DI SEKOLAH

Artikel

A.  Proloque

Polemic Full Day School (FDS) dan 5 Hari Sekolah (5HS) beberapa waktu yang lalu sempat menyita perhatian masyarakat Indonesia. Mungkin dampaknya hingga hari ini belum sepenuhnya selesai karena masih masa transisi pasca diberlakukannya Perpres No. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Perpres tersebut didalamnya masih menyebutkan peluang opsional; bahwa sekolah yang sudah memberlakukan 5 hari belajar untuk terus melanjutkannya dan yang belum atau tidak sanggup atau tidak bersedia, dipersilahkan tetap sesuai dengan kemampuan dan kemauan yang disepakati, untuk melaksanakan selamaa 6 hari belajar.

Di beberapa daerah yang menjadi projek percontohan lima hari sekolah seperti Kota Semarang, pasca diberlakukannya Perpres 87 tahun 2017 justru semakin kuat mensosialisasikan program lima hari sekolah. Hal ini sama dengan beberapa kota/kabupaten yang telah ditetapkan menjadi pilot project lima hari sekolah : seolah-olah mengejar target harus mendapatkan sekolah dalam jumlah tertentu untuk bersedia memberlakukan lima hari sekolah, seperti halnya di Purbalingga.

Keadaan yang demikian tentu saja memberikan dampak kepada pendidikan keagamaan Islam, utamanya madrasah diniyah takmiliyah (MDT) dan pendidikan al-Qur’an (TPQ). Kedua bentuk lembaga inilah yang secara langsung bersinggungan dengan efek pemberlakuakn lima hari sekolah.

MDT yang biasanya di Jawa masuk mulai pukul 14:00 atau 14:30 hingga 16:30 kecuali hari Jum’at (libur), terpaksa harus menggeser jam pembelajarannya menjadi lebih sore (menyesuaikan jam pulang sekolah SD/MI). sedangkan yang di TPQ masih relative aman karena jam pembelajarannya lebih pendek dibandingkan MDTA.

Di samping itu, ada juga sekolah atau madrasah yang bersikaf adaptif dan akomodatif atas pemberlakukan lima hari sekolah seperti halnya SD Isriati Manyaran, yang mencoba menggabungkan materi TPQ dan MDT di siang hari hingga sore hari. Akibatnya, MDT atau TPQ yang berada di luar merasa terganggu karena santrinya (untuk menyebut murid TPQ dan MDT) masih berada di sekolah, sementara kegiatan belajar mengajar di TPQ dan MDT sudah berlangsung.

Hal ini berbeda lagi dengan apa yang terjadi di Kota Tegal, yang mana terdapat beberapa sekolah negeri mendirikan MDT dan berijin operasional dari Kementerian Agama. Di satu sisi ini adalah kemajuan yang luar biasa, tetapi di sisi lain, apabila tidak ada koordinasi dengan pihak terkait lainnya maka akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Masalah tersebut antara lain; 1) standardisasi guru MDT, 2) kurikulum yang diberlakukan, 3) penganggaran, dan sebagainya. Menginggat di Kota Tegal, MDT sudah menjadi salah satu nilai tambah (kredit point) bagi peserta didik yang beragama Islam untuk dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dalam menempuh pendidikan formalnya.

 

B.  Warna Pendidikan Keagamaan Islam pada Pendidikan Formal

Melihat era perkembangan pendidikan keagamaan Islam khususnya madrasah diniyah takmiliyah sekitar tahun 2005, pernah ada kategorisasi terhadap madrasah diniyah kedalam 2 (dua) kategori; (1) madrasah diniyah di lingkungan perkotaan, (2) madrasah diniyah di lingkungan pedesaan.

Madrasah diniyah di lingkungan perkotaan, dibedakan kedalam dua kelompok, pertama;  madrasah atau sekolah umum yang menyelenggarakan pendidikan diniyah secara mandiri seperti MI, MI-IT, SD Islam, SD-IT, MTs, SMP Islam, SMP-IT. Kedua, sekolah yang tidak menyelenggarakan pendidikan keagamaan selain mencukupkan kepada mata pelajaran agama Islam sesuai aturan kurikulum yang berlaku (2-3 jam tatap muka).

Sedangkan madrasah diniyah di lingkungan pedesaan adalah madrasahh diniyah takmiliyah murni yang mengajarkan pendidikan keagamaan yang lokasinya tersebar di wilayah pedesaan.

Pada tahun 2015, kategori pertama di atas oleh Kemenag diistilahkan dengan madrasah diniyah terintegrasi, yang mana pelaksanaan kegiatan belajar mengajarnya dimasukkan didalam kurikulum satuan pendidikan tersebut (kurikulum pendidikan keagamaan dan muatan lokal). Tetapi di dalam Permendikbud nomer 23/2017, pelaksanaan pendidikan keagamaan diistilahkan dengan madrasah diniyah pola mandiri, yang mana setiap sekolah dapat menambah pelajaran keagamaan yang pelaksanaanya dilakukan secara mandiri oleh satuan pendidikan tersebut.

Salah satu keberanian gagasan Kemendikbud membuat model pendidikan keagamaan pola mandiri ini dimungkinkan juga dengan mencermati pengembangan madrasah diniyah terintegrasi yang digagas oleh Kemenag pada tahun lalu, sehingga Mendikbud menaruh harapan bahwa program lima hari sekolah akan berhasil maksimal.

Mencermati ketimpangan yang tiada berujung tersebut, perlu titik temu bagaimana mengimplementasikan Perpres 87 tahun 2017 tersebut dengan baik tanpa merugikan semua pihak. Oleh karenanya, perlu juga dipikirkan pola pengembangan pendidikan karakter yang ideal.

 

C.  Alternative FKDT

Mendasarkan kepada kategorisasi lama madrasah diniyah di atas oleh Kementerian Agama yang ternyata masih sangat relevan, terdapat 2 (dua) pola pengembangan yang dapat dilakukan. Pertama, pola mandiri, dan kedua, pola kerjasama.

Pada pola mandiri ini memiliki 2 (dua) model yakni:

  1. Model Pendidikan Keagamaan Islam di Sekolah Islam/Sekolah Umum Berciri Khas Islam
    1. Berbentuk Pengembangan Pendidikan Agama Islam seperti mata pelajaran al-Qur’an, hadits, fiqh, aqidah/tauhid, akhlaq, tarikh/ sejarah Islam
    2. Pembentuakan pengetahuan, ketrampilan ibadah amaliyah.
    3. Standar Isi/Kurikulum mengacu pada kurikulum Madrasah Diniyah Takmiliyah yang disusun oleh Kementerian Agama.
    4. Menggunakan kitab kuning/buku-buku keagamaan yang direkomendasikan oleh Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) dan disahkan oleh Kementerian Agama.
    5. Guru Pendidikan Karakter Keagamaan yang memiliki sertifikat/syahadah yang diterbitkan oleh Kementerian Agama.
    6. Pembinaan dan pengembangan diri guru/ustadz melalui Musyawarah Guru Diniyah Takmiliyah (MGDT)
    7. Laporan hasil Penilaian menggunakan raport yang diterbitkan oleh Kementerian Agama
    8. Ketuntasan belajar dibuktikan dengan ijazah yang diterbitkan oleh Kementerian Agama.
  1. Model Pendidikan Karakter Keagamaan Islam di Sekolah Negeri/Umum
    1. Berbentuk Pengembangan Pendidikan Agama Islam seperti mata pelajaran al-Qur’an, hadits, fiqh, aqidah/tauhid, akhlaq, tarikh/ sejarah Islam
    2. Berbentuk Program Pendidikan Karakter Keagamaan Islam.
    3. Penyelenggaraan program mendapatkan rekomendasi dari Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) dan disahkan oleh Kementerian Agama.
    4. Standar Isi/Kurikulum mengacu pada kurikulum Madrasah Diniyah Takmiliyah yang disusun Kementerian Agama.
    5. Menggunakan kitab kuning/buku-buku keagamaan yang direkomendasikan oleh FKDT dan disahkan oleh Kementerian Agama.
    6. Guru pendidikan karakter keagamaan yang memiliki sertifikat/syahadah yang diterbitkan oleh Kementerian Agama.
    7. Pembinaan dan pengembangan diri guru/ustadz melalui Musyawarah Guru Diniyah Takmiliyah (MGDT)
    8. Laporan hasil penilaian menggunakan raport yang diterbitkan oleh Kementerian Agama.
    9. Ketuntasan belajar dibuktkan dengan ijazah yang diterbitkan oleh Kementerian Agama.

Sedangkan pada pola kerjasama, dilakukan antara madrasah diniyah takmiliyah dengan sekolah umum. Ini dapat dilakukan di wilayah dimana banyak berdiri madrasah diniyah takmiliyah murni. Polanya antara lain:

  1. Berbentuk kerjasama sekolah umum dengan madrasah diniyah yang ditandai dengan dokumen kerjasama.
  2. Sekolah umum yang lokasinya dekat dengan madrasah diniyah yang diselenggarakan masyarakat dan atau organisasi kemasyarakatan Islam.
  3. Laporan Penilaian di madrasah diniyah diakui sebagai Penilaian Pendidikan Karakter Keagamaan.
  4. Ijazah Madrasah Diniyah diterbitkan oleh Kementerian Agama.
  5. Madrasah diniyah harus memenuhi ketentuan :
  6. Memiliki ijin operasional yang diterbitkan oleh Kementerian Agama.
  7. Menggunakan kurikulum Kementerian Agama atau kurikulum madrasah diniyah sendiri yang diakui Kementerian Agama.

 

Epiloque

Model pengembangan ini apabila dicermati dapat dilaksanakan dengan resiko minimal. Hanya saja harus diikuti dengan berbagai kesiapan, baik itu dari pemerintah (Kemendikbud dan Kemenag), Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT), Madrasah Diniyah Takmiliyah, Sekolah, Badko TPQ, pesantren, dan berbagai pihak yang terkait.

Satu hal lagi yang harus menjadi catatan adalah, didalam aturan Permendikbud ataupun Peraturan Menteri Agama ataupun yang lebih tinggi dari itu, harus menyebutkan secara tegas dalam hal penganggaran. Apakah dianggarkan oleh pemerintah (melalui kementerian terkait), satuan pendidikan, atau komite. Untuk itulah pola pengembangan ini perlu didiskusikan lebih lanjut untuk mencapai hasil yang lebih baik.

Oleh: M. Arief Hidayatulloh

Bagikan Tulisan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *