Oleh: M. Arief Hidayatulloh
Pandemi Covid-19 yang melanda negara di seluruh dunia tanpa kecuali Indonesia, menimbulkan pengaruh yang luar biasa terhadap pendidikan. Banyak perusahakan memberhentikan tenaga kerjanya, pengurangan produksi, penghematan, membagi jadwal kerja paruh waktu dan sebagainya.
Pada dunia pendidikan, baik itu di Perguruan Tinggi, SLTA, hingga PAUD, diliburkan karena pandemi Covid-19. Meskipun pada akhirnya daerah yang termasuk dalam kategori zona hijau dapat menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Diantara daerah dengan zona hijau yang menyelenggarakan pendidikan antara lain Kab. Tegal Provinsi Jawa Tengah.
Meskipun demikian, di harian Kompas terbitan 5 Agustus merilis berita bahwa terdapat siswa di Kabupaten Tegal Jawa Tengah terkonfirmasi positif Covid-19. Akibatnya semua aktifitas di sekolah tersebut dihentikan dan diganti dengan pembelajaran daring, dan semua siswa serta guru yang ada di sekolah tersebut di tes Swab.
Secara umum, lembaga pendidikan di Indonesia tidak berani menjalankan kegiatan belajar mengajar di tengah pandemi Covid-19. Tetapi hal ini berbeda sekali dengan lembaga pendidikan tradisional yakni pondok pesantren, meskipun serba memiliki keterbatasan. Baik itu bangunan asrama yang kurang memadahi atau kurang dari cukup, kurang terawat kebersihannya, tempat berjubel dengan banyaknya santri, sanitasi yang kurang bersih, namun semenjak selesai Idul Fitri 2020, pondok pesantren sudah kembali membuka aktifitasnya, mulai dari pendaftaran santri baru, hingga kegiatan belajar mengajar. Hal ini sangat kontras dengan lembaga pendidikan formal yang bisa dibilang lebih maju, lebih bersih, bangunan lebih rapi dan mapan, terjaga kebersihan dan keamanannya, namun belum bisa menjalankan aktifitas pembelajarannya secara normal meskipun di era new normal.
Pembelajaran daring yang serba mengandalkan jaringan internet sangat tidak efektif karena pembentukan karakter peserta didik tidak dapat dilakukan. Pengawasan dari orang tua yang terbatas karena orang tua juga harus menjalankan aktifitasnya bekerja sehari-hari, belum lagi problem pembelian kuota internet yang memberatkan bagi orang tua siswa, terutama yang tidak memiliki jaringan wi-fi dan kemampuan ekomomi.
Maka wajaralah apabila muncul fenomena baru (yang sebenarnya sudah lama) kembali terjadi ; banyak orang tua yang memilih membelajarkan anaknya di pondok pesantren, bahkan ada yang sengaja mencabut anaknya dari sekolah untuk kemudian dimasukkan ke pondok pesantren, seperti yang dilakukan oleh beberapa tetangga saya sendiri.
Terdapat sebuah fakta bahwa salah satu pondok pesantren yang cukup besar di Jawa Tengah yang pada masa penerimaan kembali santri baru di akhir Syawwal mendapatkan hambatan dari masyarakat setempat untuk kembali membuka pelayanan pondoknya. Dengan pengamanan dan pengawalan yang ketat, akhirnya pondok tersebut boleh dibuka kembali, tetapi masyarakat sekitar pondok sangat berlebihan dengan membatasi akes keluar-masuk pondok. Seperti membentangkan tulisan larangan santri diluar pondok, larangan pembatasan area santri dengan lingkungan masyarakat karena takut penularan Covid-19 dan sebagianya. Padahal, tidak ada kasus Covid-19 di pondok pesantren tersebut.
Dari reaksi berlebih warga sekitar pondok tersebut akhirnya dengan perhitungan yang cermat, bersegeralah pondok pesantren berupaya mencukupkan semua pemenuhan kebutuhan santri didalam pondok, sehingga tidak ada lagi aktifitas santri berbelanja diluar pondok. Apa dampak yang terjadi? Semua warung warga masyarakat yang biasanya ramai santri berbelanja di sekitar pondok tidak laku karena tidak ada yang membeli. Hingga para penjual (warga masyarakat) memelas kepada pengasuh pondok dengan mengungkapkan pertanyaan “Pak Kyai, kapan santri boleh keluar pondok”? dengan santainya sang kyai menjawab; “Ini khan masa Pancemi Covid-19, santri ndak boleh keluar pondok dulu”. Jawaban diplomatis ini secara tersirat bisa dimaknai sebagai pembalasan yang mengandung nilai edukatif pondok pesantren atas perilaku masyarakat sekitar pondok yang tadinya melarang pondok pesantren beraktifitas dengan sikap berlebih.
Salah satu fakta kecil ini membuktikan bahwa pondok pesantren telah menunjukkan eksistensinya sebagai pondok pesantren yang mampu menghadapi fenomena new normal di masa pandemi Ccovid-19. Apa rahasianya meskipun pondok pesantren banyak dihuni santri yang kondisinya berjubel karena penuhnya ruang asrama, padatnya kegiatan, keterbatasan kamar mandi dan sebagainya, masih mampu menghadapi krisis ini.
Setidaknya terdapat dua sikap yang selalu ditanamkan oleh kyai atau pengasuh pondok, yakni tawadlu (rendah hati, taat) dan disiplin (menjaga tata aturan pondok). Sikap tawadlu dibudayakan di lingkungan pondok pesantren, terutama tawadlu terhadap perintah kyai. Di dalam sikap tawadlu ini termuat hubungan vertikal dan horizontal sekaligus, disinilah kekuatan utama karena adanya belief system (sistem kepercayaan) yang terpatri didalam diri santri akan keberkahan yang akan diterimanya nanti apabila menjalankan sikap tawadlu dimanapun santri berada.
Demikian juga dengan sikap disiplin yang harus dijaga santri. Disiplin atas semua aturan pondok berguna melatih santri untuk menghargai waktu. Meskipun sarana dan prasarana pondok memiliki keterbatasan, tetapi dengan pengaturan waktu yang ketat akan menjadikan kebiasaaan yang baik pada diri santri itu sendiri. Misalnya, keterbatasan kamar mandi dan tempat mencuci melatih santri untuk mengatur bagaimana dan kapan waktu yang tepat membersihkan pakaian.
Jadi, mari kita adopsi budaya tawadlu dan disiplin santri di pondok pesantren ini dalam kehidupan sehari-hari kita agar terhindar dari keburukan yang akan mengancam diri kita.